Defisit transaksi berjalan Indonesia mengalami peningkatan signifikan pada tahun 2024, mencapai $8,9 miliar atau sekitar 0,6% dari PDB, naik tajam dibandingkan $2 miliar atau 0,1% dari PDB pada tahun sebelumnya. Kenaikan ini didorong oleh menyusutnya surplus neraca perdagangan barang serta melemahnya permintaan global yang berpengaruh terhadap ekspor nasional.
Bank Indonesia (BI) memproyeksikan bahwa pada tahun 2025, defisit transaksi berjalan bisa berada dalam kisaran 0,5% hingga 1,3% dari PDB. Hal ini dipicu oleh meningkatnya impor akibat pertumbuhan ekonomi domestik serta tekanan perdagangan global, terutama dari kebijakan ekonomi Amerika Serikat.
Di sisi lain, surplus neraca pembayaran Indonesia justru menunjukkan tren positif, meningkat dari $6,3 miliar pada 2023 menjadi $7,2 miliar pada 2024. Kenaikan ini disebabkan oleh meningkatnya arus masuk investasi portofolio ke dalam negeri. Namun, analis memperkirakan bahwa peningkatan impor yang didorong oleh konsumsi domestik serta faktor eksternal dapat memperlebar defisit hingga 1,18% dari PDB pada 2025.
Kondisi ini berpotensi membatasi ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga lebih lanjut, mengingat pentingnya menjaga stabilitas rupiah dan mengendalikan inflasi impor. Keputusan kebijakan moneter yang diambil BI dalam beberapa bulan ke depan akan menjadi kunci dalam menghadapi tantangan ekonomi ini.
Bagaimana menurut Anda? Apakah Indonesia perlu langkah strategis untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan? Berikan pendapat Anda dan mari berdiskusi!